Mengingat Kematian Makhluk Allah

AJARAN MUSLIM - Mengingat Kematian Makhluk Allah


Kematian pada hakikatnya tidaklah berpola, melainkan bergerak melalui putik-putik yang samar, merambati hari-hari suka  serta sedih insan. Ubun-ubun bumi dan  langit ada pada jangkauannya, sehingga tidak ada yang bisa selamat asal kejarannya.

Pembasmiannya tehadap si muda muda tidak lebih lambat ketimbang terhadap orang tua bangka. Ada saat-waktu di mana kematian membentuk kisah horor yg sungguh menyeramkan, dan  ada ketika-waktu di mana kematian menebarkan keharuan yang menyayat sukma.

Kehidupan merupakan gelombang laut kematian yang selalu menerpa para penumpang kapal yang berlayar di atasnya. Seberapa bertenaga sebuah kapal mampu bertahan dalam terpaan gelombang ombak samudera  yg amat dahsyat!

Seberapa lama   penumpang dapat bertahan di kapal yang terus terombang-ambing oleh ombak dan  badai laut yang menyudutkan, menolengkan, menampar, melontarkan, dan  membuang kuliner yang tersisa? Seberapa jauh bepergian dapat ditempuh dengan perahu reot yang sudah rusak oleh tingkah penumpangnya sendiri?

Apa yang dapat dibutuhkan berasal sebuah perjalanan penuh gonjang-ganjing ini? Adakah nahkoda “banci” yang berjiwa kerdil serta penumpang yang terus berulah dapat menyampaikan asa akan kekekalan perjalanan?

“seorang raja mendirikan sebuah istana yg menghabiskan porto ratusan ribu dinar. Disebelah luarnya, istana itu dihiasi menggunakan menara-menara serta kubah-kubah yg bersepuhkan emas, sedangkan perabotan dan  permadani menghasilkan ruang dalamnya serasa pada pada nirwana.

Selesainya rampung dibangun, oleh raja mengundang segenap orang dari seluruh negeri buat mengunjunginya. Orang-orang ini tiba dengan banyak sekali anugerah sebelum menuju ke tempat duduknya masing-masing.

Setelah dipersilahkan duduk, raja bertanya kepada mereka: “katakan, bagaimana pendapat kalian perihal istanaku ini? Adakah sesuatu yg terlupa, yang dapat menghambat atau mengurangi keindahannya?”

Serempak hadirin menyatakan bahwa belum ada istana semacam ini serta takkan terdapat kembarannya di global. Semua menyatakan demikian kecuali seseorang arif yang bangkit serta berkata:

“ada satu celah mungil yang dari pendapat hamba adalah cacat, tuanku. Andaikan tidak terdapat cacat ini, nirwana itu sendiri pun akan memberikan hadiah-hadiahnya kepada tuanku berasal global gaib.”

“aku  tidak melihat stigma itu,” kata oleh raja marah. “kau orang udik! Dan  kau hanya ingin dirimu tampak penting.”

“tidak, raja yang arogan!” jawab si arif itu. “celah yg kusebutkan itu adalah celah yang akan dilewati izrail, malaikat pencabut nyawa, Bila ia datang nanti. Semoga yang kuasa berkenan, tuanku dapat tutup celah itu.

Sebab Bila tidak, apakah gunanya istana, mahkota dan  singgasana tuanku yang megah ini. Jika maut datang, semuanya akan sebagai segenggam debu. Tidak satu pun yang permanen bertahan lama  , dan  celah itulah yang akan merusakkan tempat semayam tuanku. Tiada akal budi untuk membentuk tak pernah mati apa yang tidak kekal.”

Kematian artinya faktor yang menggerakkan orang-orang bijak buat meninggalkan semua kepalsuan serta kesementaraan menuju keabadian serta kehidupan hakiki.

Dalam metode menjemput maut, al-ghazali bertutur: “merupakan kewajiban orang memandang kematian menjadi kefanaannya, … buat tak memikirkan apapun selain kematian.”

Namun, ironisnya, di global waktu ini, dan  barangkali telah semenjak dahulu kala, hal wacana mirip gaya, fashion, kekayaan, gelar, kesuksesan, dan  sebagainya dianggap lebih ketimbang kematian.

Orang akan jauh lebih terdorong buat mengejar dan  mengantisipasi kesemuan-kesemuan semacam itu daripada kepastian yang bernama kematian. Inilah lawan asas yg disebabkan oleh apa yang disebut oleh orang-orang pandiri menjadi kemajuan serta modernitas.

Semua ini terjadi sedemikian rupa sehingga banyak orang yg merasa tak akan mangkat  atau setidaknya berilusi bahwa beliau akan hayati selamanya. Dalam konteks itulah qs. Al-baqarah: 96 berbicara.

Delusi hayati keka ini boleh jadi bermula berasal angan-angan puak modern buat menguasai serta menikmati seisi dunia. Adalah paradoks Bila modernisme yang pada awalnya lahir buat mengangkat derajat keberadaban (civility) manusia justru terjerumus pada labirin kerakusan merengku dunia.

Pada satu sisi, kematian ialah sebuah rahasia yang wajib  cepat-cepat dikikis asal kesadaran publik yg hendak dijadikan sasaran tembak industrialisasi.

Tetapi, di sisi lain, fantasi ihwal omnipotensi manusia (baca: humanisme) yang mewujud pada sains dan  teknologi modern makin lama   makin menggelandang manusia buat terus alpa akan batas-batas dirinya. Serta tiada batas yang lebih pasti daripada kedatangan maut serta berakhirnya kehidupan.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan Bila aku  katakan bahwa mengingat mati merupakan galat satu metode terampuh buat menyadarkan kembali insan akan batas-batas dirinya, dus  mengembalikannya pada cara hayati masuk akal dan  rasional. Berdasarkan para sufi, panjang angan serta lupa mangkat  artinya 2 faktor primer yang melenakan insan akan batas-batas dirinya, yang sebenarnya artinya benteng penjagaan asal keterbuaian serta kesesatan.

Allah berfirman:

Adapun orang yg melampaui batas dan  lebih mengutamakan kehidupan global, maka sesungguhnya nerakalah yang akan sebagai tempat tingganya. (qs. An-nazi’at: 37-39).

loading...
Blogger
Disqus

2 comments

sesuai dengan Firmannya: setiap yang bernafas pasti akan mati

Balas

Artikel sama isinya keren gan, makasih, di tunggu artikel barunya gan...

Balas
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
close